Ayat ayat tentang Tauhid
Makna Tauhid
Tauhid secara bahasa merupakan mashdar (kata benda dari kata
kerja, ed) dari kata wahhada. Jika dikatakan wahhada syai’a artinya menjadikan
sesuatu itu satu. Sedangkan menurut syariat berarti mengesakan Allah dalam
sesuatu yang merupakan kekhususan bagi-Nya berupa rububiyah, uluhiyah, dan
asma’ wa shifat ( Al-Qaulul Mufiiid Syarh Kitabi At-Tauhid I/7).

Kata tauhid sendiri merupakan kata yang terdapat dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, “Engkau akan mendatangi kaum ahli kitab, maka jadikanlah materi dakwah yang kamu sampaikan pertama kali adalah agar mereka mentauhidkan Allah”. Demikan juga dalam perkataan sahabat Nabi, “Rasulullah bertahlil dengan tauhid”. Dalam ucapan beliau labbaika Allahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, ucapan talbiyah yang diucapkan ketika memulai ibadah haji. Dengan demikian kata tauhid adalah kata syar’i dan terdapat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah li Syaikh Shalih Alu Syaikh 63).
Pembagian
Tauhid dalam Al Qur’an
Pembagian yang populer di kalangan ulama adalah pembagian
tauhid menjadi tiga yaitu tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat.
Pembagian ini terkumpul dalam firman Allah dalam Al Qur’an:
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا
فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً
“Rabb (yang menguasai) langit dan
bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan
berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang
yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65).
Perhatikan ayat di atas:
(1). Dalam firman-Nya (رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ) (Rabb (yang menguasai) langit dan bumi) merupakan penetapan
tauhid rububiyah.
(2). Dalam firman-Nya (فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ) (maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah
kepada-Nya) merupakan penetapan tauhid uluhiyah.
(3). Dan dalam firman-Nya (هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً) (Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia?)
merupakan penetapan tauhid asma’ wa shifat.
Berikut penjelasan ringkas tentang tiga jenis tauhid
tersebut:
Tauhid rububiyah.
Maknanya adalah mengesakan Allah dalam hal penciptaan,
kepemilikan, dan pengurusan. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah
firman Allah:
أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ
اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah, menciptakan dan
memerintahkan hanyalah hak Allah” (Al- A’raf: 54).
Tauhid uluhiyah atau tauhid
ibadah.
Disebut tauhid uluhiyah karena penisbatanya kepada Allah dan
disebut tauhid ibadah karena penisbatannya kepada makhluk (hamba). Adapun
maksudnya ialah pengesaan Allah dalam ibadah, yakni bahwasanya hanya Allah
satu-satunya yang berhak diibadahi. Allah Ta’ala berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ
مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ
”Demikianlah, karena sesungguhnya
Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang mereka seru selain Allah adalah
batil” (Luqman: 30).
Tauhid asma’ wa shifat.
Maksudnya adalah pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan
nama-nama dan sifat-sifat yang menjadi milik-Nya. Tauhid ini mencakup dua hal
yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus menetapkan seluruh nama dan
sifat bagi Allah sebgaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya
atau sunnah nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah
dalam nama dan sifat-Nya. Dalam menetapkan sifat bagi Allah tidak boleh
melakukan ta’thil, tahrif, tamtsil, maupun takyif. Hal ini ditegaskan Allah
dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
البَصِيرُ
”Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura: 11)
(Lihat Al-Qaulul Mufiiid I/7-10).
Sebagian ulama membagi tauhid menjadi dua saja yaitu tauhid
dalam ma’rifat wal itsbat (pengenalan dan penetapan) dan tauhid fii thalab wal
qasd (tauhid dalam tujuan ibadah). Jika dengan pembagian seperti ini maka
tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat termasuk golongan yang pertama
sedangkan tauhid uluhiyah adalah golongan yang kedua (Lihat Fathul Majid 18).
Pembagian tauhid dengan pembagian seperti di atas merupakan
hasil penelitian para ulama terhadap seluruh dalil-dalil Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Sehingga pembagian tersebut bukan termasuk bid’ah karena memiliki
landasan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kaitan Antara Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah
Antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah mempunyai
hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Tauhid rububiyah mengkonsekuensikan
tauhid uluhiyah. Maksudnya pengakuan seseorang terhadap tauhid rububiyah
mengharuskan pengakuannya terhadap tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang telah
mengetahui bahwa Allah adalah Tuhannya yang menciptakannya dan mengatur segala
urusannya, maka dia harus beribadah hanya kepada Allah dan tidak
menyekutukan-Nya.
Sedangkan tauhid uluhiyah terkandung di dalamnya tauhid
rububiyah. Maksudnya, tauhid rububiyah termasuk bagian dari tauhid uluhiyah.
Barangsiapa yang beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya,
pasti dia meyakini bahwa Allahlah Tuhannya dan penciptanya. Hal ini sebagaimana
perkatan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam:
قَالَ أَفَرَءَيْتُم مَّاكُنتُمْ تَعْبُدُونَ
{75} أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُمُ اْلأَقْدَمُونَ {76} فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّي إِلاَّرَبَّ
الْعَالَمِينَ {77} الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ {78} وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي
وَيَسْقِينِ {79} وَإِذَامَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ {80} وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ
يُحْيِينِ {81} وَالَّذِي أَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ
{82}
“Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu
telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah (75), kamu dan nenek moyang
kamu yang dahulu? (76), karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah
musuhku, kecuali Tuhan semesta alam (77), (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan
aku, maka Dialah yang memberi petunjuk kepadaku (78), dan Tuhanku, Yang Dia
memberi makan dan minum kepadaku (79), dan apabila aku sakit, Dialah Yang
menyembuhkanku (80), dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan
aku (kembali) (81), dan Yang amat aku inginkan akan mengampuni kesalahanku pada
hari kiamat (82)” (Asy- Syu’araa’: 75-82).
Tauhid rububiyah dan uluhiyah terkadang disebutkan
bersamaan, maka ketika itu maknanya berbeda, karena pada asalnya ketika ada dua
kalimat yang disebutkan secara bersamaan dengan kata sambung menunjukkan dua
hal yang berbeda. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah:
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ {1} مَلِكِ
النَّاسِ {2} إِلَهِ النَّاسِ {3}
“Katakanlah;” Aku berlindung kepada
Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia (1). Raja manusia (2). Sesembahan
manusia (3)” (An-Naas: 1-3).
Makna Rabb dalam ayat ini adalah raja yang mengatur manusia,
sedangkan makna Ilaah adalah sesembahan satu-satunya yang berhak untuk
disembah.
Terkadang tauhid uluhiyah atau rububiyah disebut sendiri
tanpa bergandengan. Maka ketika disebutkan salah satunya mencakup makna
keduanya. Contohnya pada ucapan malaikat maut kepada mayit di kubur: “Siapa
Rabbmu?”, yang maknanya adalah: “Siapakah penciptamu dan sesembahanmu?” Hal ini
juga sebagaimanan firman Allah:
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِم بِغَيْرِ
حَقٍّ إِلآَّ أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللهُ
“(yaitu) orang-orang yang telah
diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena
mereka berkata: ”Tuhan (Rabb) kami hanyalah Allah” (Al-Hajj: 40).
قُلْ أَغَيْرَ اللهِ أَبْغِي رَبًّا
“Katakanlah:”Apakah aku akan mencari
Rabb selain Allah” (Al-An’am: 164).
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ
اسْتَقَامُوا
“Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqamah” (Fushshilat: 30).
Penyebutan rububiyah dalam ayat-ayat di atas mengandung makna uluhiyah ( Lihat Al Irsyad ilaa Shahihil I’tiqad
27-28).
Isi Al-Qur’an Semuanya Tentang
Tauhid
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa isi
Al-Qur’an semuanya adalah tentang tauhid. Maksudnya karena isi Al-Qur’an
menjelaskan hal-hal berikut:
Berita tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya,
perbuatan-Nya, dan perkataan-Nya. Ini adalah termasuk tauhidul ‘ilmi al khabari
(termasuk di dalamnya tauhid rububiyah dan asma’ wa shifat).
Seruan untuk untuk beribadah hanya kepada Allah semata dan
tidak mempersekutukan-Nya. Ini adalah tauhidul iraadi at thalabi (tauhid
uluhiyah).
Berisi perintah dan larangan serta keharusan untuk taat dan
menjauhi larangan. Hal-hal tersebut merupakan huquuqut tauhid wa mukammilatuhu
(hak-hak tauhid dan penyempurna tauhid).
Berita tentang kemuliaan orang yang bertauhid, tentang
balasan kemuliaan di dunia dan balasan kemuliaan di akhirat. Ini termasuk
jazaa’ut tauhid (balasan bagi ahli tauhid).
Berita tentang orang-orang musyrik, tentang balasan berupa
siksa di dunia dan balasan azab di akhirat. Ini termasuk balasan bagi yang
menyelisihi hukum tauhid.
Dengan demikian, Al-Qur’an seluruhnya berisi tentang tauhid,
hak-haknya dan balasannya. Selain itu juga berisi tentang kebalikan dari tauhid
yaitu syirik, tentang orang-orang musyrik, dan balasan bagi mereka (Lihat Fathul Majid 19).
Penjelasan diatas adalah menurut para ulama, dan dibawah ini
adalah terkait Tauhid menurut para Teolog.
Masalah tauhid merupakan salah satu masalah yang dalam dan
luas dalam konsep keagamaan dan al-Qur'an. Karena itu, masalah tauhid terbagi
menjadi beberapa jenis dan tingkatan. Terkait dengan pembahasan tauhid dalam
al-Qur'an, hal itu disebutkan secara rinci dan jelas pada surah-surah dan
ayat-ayat al-Qur'an. Metode dan pola al-Qur'an dalam menjelaskan konsep-konsep
ini adalah suatu hal yang asasi. Dewasa ini, metode ini disebut sebagai metode
tafsir tematis al-Qur'an.
Dalam ajaran-ajaran agama, setiap membahas persoalan tauhid
maka yang menjadi pokok pembicaraan adalah pembahasan dzat Ilahi, dengan segala
sifat-sifat dan tingkatannya. Dengan demikian, setiap disebutkan lafaz jallalah
(Allah Swt), maka hal itu mengindikasikan pada masalah tauhid dan indikasi ini
diyakini oleh para mufassir dalam penafsiran ayat 136 surah al-Baqarah. Tentu
saja jelas bahwa matlab ini tidak dapat digunakan untuk petunjuk literal
(dalālat lafziah) dan sharih (tegas), melainkan terkait dengan petunjuk yang
mengikat (dalālat iltizāmi) dengan memperhatikan pelbagai indikasi eksternal
(qarina khariji) dan dalil-dalil literal (lafziyah) lainnya yang dapat
disimpulkan dari pelbagai ayat dan riwayat.
Benar bahwa dalam al-Qur'an terdapat sebagian surah yang
merupakan surah pendek dan ringkas namun mengandung pembahasan fundamental
tauhid dan ushuluddin (ajaran pokok agama). Sebagaimana yang dapat dijumpai
pada surah al-Fatihah.
Terkait dengan tingkatan tauhid dan jenisnya dalam masalah ini
para teolog membaginya sebagai berikut:
1. Tauhid dzat
2. Tauhid sifat
3. Tauhid
perbuatan (fi'il), dimana dalam pembagian tauhid ini terdapat pembagaian lagi
seperti, tauhid dalam penciptaan (khāliqiyyah), tauhid dalam pengaturan
(rububiyyah), tauhid dalam keberkuasaan (hākimiyyah), tauhid dalam ketaatan
(Ithā'a) dan penghambaan, tauhid dalam penetapan hukum (tasyri'i) dan tauhid
dalam ibadah ('ubudiyyah).

Dalam menjelaskan pelbagai tujuan, konsep dan risalahnya,
al-Qur'an memiliki metode dan pola yang jelas. Metode tersebut adalah sebagian
ayat al-Qur'an menafsirkan sebagian ayat lainnya. Hal ini bermakna bahwa sebuah
ayat disebutkan pada suatu tempat tertentu dan dengan kandungan konteks
tertentu setelah itu terdapat ayat lain yang menjelaskan maksud ayat tersebut.
Dengan dasar ini ulama dan pakar tafsir dalam menafsirkan
dengan jelas dan terang masalah tauhid, dengan mengenal konsep-konsep,
tingkatan dan bagiannya, berupaya sehingga seluruh ayat-ayat al-Qur'an dapat
ditafsirkan terkait dengan masalah ini. Pola dan metode ini adalah disebut
sebagai tafsir tematis al-Qur'an (tafsir maudhu'i al-Qur'an).
Dengan pola ini
ayat-ayat yang terkait dengan tauhid diklasifikasikan dan dikaji dalam bentuk
yang sistemik dan tertata, Seluruh pembahasan yang berkenaan dengan tauhid
disarikan dalam bentuk sempurna dan utuh. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa tauhid memiliki banyak ragam tingkatan dan bagian. Karena itu, untuk
menemukan ragam tingkatan dan bagian tersebut dalam satu ayat (saja) merupakan
sebuah pekerjaan yang sulit dilakukan. Akan tetapi yang mungkin dapat dilakukan
adalah bahwa ayat-ayat yang menyebutkan nama-nama Allah Swt (asma jalālah) dan
terkait dengan iman, nama Allah Swt mengandung derajat dan tingkatan tauhid.
Seperti firman Allah Swt: "Katakanlah (hai orang-orang mukmin), “Kami
beriman kepada Allah dan apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa yang
telah diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’qub dan (para nabi dari)
anak cucunya, serta kepada apa yang telah diberikan kepada Musa, Isa, dan
kepada nabi-nabi (lain) dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang
pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (Qs. Al-Baqarah
[2]:136)
Pada ayat ini Allah Swt berfirman bahwa "Kami beriman kepada Allah" artinya
adalah bahwa kami beriman kepada Allah, Wājib al-Wujud, Esa, yang memiliki
seluruh sifat kesempurnaan, suci dari segala aib dan cela, Satu-satunya yang
layak disembah, dan seterusnya. Dan redaksi ayat, "Dan apa yang telah
diturunkan kepada kami" mengandung seluruh perkara, Kitab Suci dan Sunnah dengan dalil ayat kelanjutannya, "Dan
Allah Swt menurunkan Kitab dan Hikmah." Karena itu, yang termasuk dalam
tauhid adalah iman dan apa yang terkandung dalam Kitab Suci dan Sunah
Rasulullah Saw, iman kepada sifat-sifat Allah dan sifat-sifat Rasulullah Saw,
iman kepada akhirat, iman kepada yang ghaib, pada masa lalu dan masa akan
datang, dan iman kepada seluruh hukum, perintah dan larangan syariat.
Adapun terkait dengan frase ketiga dari ayat ini, "Dan
apa yang telah diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya'kub dan (para nabi
dari anak cucunya)." Dalam bagian ini, disebutkan iman kepada seluruh
kitab samawi yang diturunkan kepada para nabi, iman kepada para nabi secara
umum, khususnya yang ditegaskan dalam ayat ini – karena keunggulan dan keumuman
risalahnya.
Karena itu, ayat ini, meski pendek dan singkat, mengandung
seluruh jenis tauhid: Tauhid rubūbiyah, tauhid uluhiyyah, tauhid nama-nama dan
sifat-sifat Allah, demikian juga penjelas iman kepada seluruh nabi Allah Swt
dan seluruh kitab samawi.[3]
Yang harus diperhatikan adalah bahwa ayat ini menujukkan
pada bagian-bagian tauhid tatkala
masalah tauhid ini sebelumnya telah dibahas dan dikaji melalui jalan rasional
(aqli) dan ayat-ayat lainnya serta hadis-hadis. Karena kita telah mengenal jenis
tauhid dan sifat-sifat Allah Swt melalui ayat lainnya, maka kita dapat mengenal
hal-hal yang termuat pada ayat 136 surah al-Baqarah di atas bahwa dzat yang
memiliki sifat-sifat sedemikian (rubūbiyah, uluhiyyah dsb), terhimpun
seluruhnya pada nama agung Tuhan; artinya seluruh dzat dengan seluruh
disebutkan pada nama agung Tuhan (ism jallalah). Akan tetapi, hal ini tidak bermakna bahwa
petunjuk literal tegas (dalālat lafzi sharih) nama agung (Tuhan) mengandung
seluruh jenis tauhid dan sifat, melainkan petunjuk (dalālat) ini dapat dipahami
dengan menyertakan pelbagai indikasi dan bukti-bukti dari tempat lain. Dengan mengikut pada pola dan metode ini,
maka kita akan dapat menemukan banyak ayat yang menyinggung masalah tauhid
dalam al-Qur'an.
Di antara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah Swt,
"Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang
mereka berpaling dari segala tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat
padanya." (Qs. Al-Anbiya [21]:32) Kokohnya langit tanpa tiang dan sandaran
merupakan petunjuk atas tauhid dan kekuasaan Allah Swt. Dan menandaskan
kemahakuasaan Tuhan atas segala sesuatu."[4]
Dalam al-Qur'an, ayat-ayat yang menyinggung pada sebagian
jenis tauhid seperti, " Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘arasy
(Dia mengatur seluruh alam semesta). Dia menutupkan (tirai kegelapan) malam
kepada siang; malam mengikuti siang dengan cepat, dan (Dia menciptakan pula)
matahari, bulan, dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya.
Ingatlah, menciptakan dan mengatur (alam semesta) hanyalah hak Allah. Maha
Berkah (dan Kekal) Allah, Tuhan semesta alam." (Qs. Al-A'raf [7]:54) Pada
ayat ini redaksi "lahu al-khalq" (menciptakan dan mengatur [alam
semesta] hanyalah hak Allah) menyinggung masalah tauhid dalam penciptaan
(khaliqiyyah), dan redaksi "amr" (perintah) menjelaskan tauhid pada
pengaturan (rububiyyah) dan penataan yang tergolong ke dalam jenis keberkuasaan
(hakimiyyah) atas alam semesta.[5]
Adapun, sebagian surah-surah pendek al-Qur'an mengandung
tingkatan utama dan asli tauhid seperti pada surah al-Fatihah, meski surah
al-Fatihah ini termasuk sebagai surah pendek dalam al-Qur'an, namun memuat
perkara-perkara khusus yang tidak disebutkan pada surah-surah lainnya. Pada
surah ini, disinggung tiga jenis dan tingkatan tauhid. "Rabbul
'Alamin" adalah penjelas tauhid rubbubiyah. Tauhid uluhiyyah dan tauhid
Ubudiyyah dapat disimpulkan dari redaksi ayat "Allah" dan ayat
"Iyyaka na'budu ya iyyaKa nasta'in." (Hanya kepada-Mu kami menyembah
dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan).[6]
Tingkatan Tauhid
Adapun terkait dengan
tingkatan dan derajat tauhid, ulama dan para teolog membahas masalah ini dan
menjadi bahan perdebatan serta dialektika di antara mazhab popular teologi.
Di sini, pertama-tama kita akan menjelaskan sub-sub
pembahasan, kemudian kita akan membahasnya satu per satu dalam bentuk yang
sangat ringkas dan padat, mengingat terbatasnya ruang dan waktu.
Ulama dan para teolog mengklasifikasikan tauhid sebagai
berikut:
1. Tauhid dzati.
2. Tauhid sifat
3. Tauhid pada
penciptaan (khāliqiyyah)
4. Tauhid pada
pengaturan (rubūbiyyah)
5. Tauhid pada
keberkuasaan (hākimiyyah)
6. Tauhid dalam
ketaatan (itha'āt)
7. Tauhid dalam
penetapan Hukum (tasy'ri)
8. Tauhid dalam
ibadah ('ubudiyyah)
1. Tauhid Dzati
Tauhid dzati artinya Allah Swt adalah Esa dan tiada yang
sama dan serupa dengan-Nya. Salah satu sifat Allah Swt yang paling nyata adalah
Esa (Tunggal) dan dua baginya tidak dapat digambarkan. Hal ini dalam bahasa
para teolog disebut sebagai tauhid dzati. Dengan tauhid dzati ini mereka
menafikan segala sesuatu yang serupa dan semisal dengan Allah Swt. Terkadang
juga yang dimaksud dengan tauhid dzati adalah bahwa Allah Swt itu adalah Esa; artinya
basith (simpel) dan tidak dapat digambarkan rangkapan bagi-Nya.
Untuk dapat membedakan dua jenis tauhid dzati ini, para
teolog menyebut tauhid yang pertama adalah tauhid ahadi yang menyinggung
persoalan ini bahwa dua bagi Allah Swt tidak dapat digambarkan. Adapun maksud
para teolog dengan tauhid dzati bagian kedua adalah bahwa Allah Swt tidak
memiliki rangkapan dan wujud Tuhan itu adalah simpel (basith).
Allah Swt dalam surah al-Ikhlas (Tauhid) menyebutkan dua
jenis tauhid ini. Pada bagian awal-awal surah ini, Allah Swt berfirman:
"Qul Huwallahu Ahad." (Katakanlah Allah itu Esa). Inilah yang disebut sebagai tauhid dzati yang
bermakna bahwa Allah Swt tidak memiliki rangkapan. Dan pada akhir surah, Allah
Swt berfirman, "Wa lam yakun lahu kufuwan ahad." (Tiada satu pun yang
serupa dengan-Nya); artinya bahwa tiada yang kedua bagi Allah Swt.[7]
2. Tauhid Sifat
Para teolog dalam masalah ini sepakat dan mencapai konsensus
(ijma) bahwa Allah Swt memiliki seluruh sifat keindahan dan kesempurnaan;
seperti, ilmu, qudrat, hayat (hidup) dan sebagainya yang merupakan sifat dzati.
Namun mereka berbeda terkait dengan bagaimana Allah Swt tersifatkan dengan
sifat-sifat ini. Mazhab Imamiyah (Syiah 12 Imam) meyakini bahwa sifat Allah Swt
adalah identik (sama) dengan Dzat-Nya. Muktazilah berpandangan bahwa Dzat
merupakan wakil (naib) dari sifat, tanpa adanya sebuah sifat pada Tuhan.[8]
Akan tetapi Asy'airah berkata: Sifat kamaliyah (kesempurnaan) adalah berbeda
(zāid) dengan Dzat baik dari sisi konsep (mafhum) atau pun obyek luaran
(misdaq).[9]
Pembahasan ini adalah tergolong sebagai pembahasan jeluk dan
menjuntai teologis yang bukan tempatnya di sini untuk membahasnya secara detil.
Oleh itu, kami hanya mencukupkan dengan menukil pandangan global tiga mazhab
teologis saja.
3. Tauhid dalam
Penciptaan (khāliqiyyah)
Dalil-dalil dan argumen-argumen rasional mengatakan bahwa
pada dunia wujud tiada satu pun pencipta selain Allah Swt. Entitas-entitas
kontingen (maujudāt imkan), pengaruh dan aktifitasnya, bahkan seluruh ciptaan
dan temuan manusia pada hakikatnya, tanpa hiperbol (mubalāgha), adalah ciptaan
Allah Swt. Segala yang terdapat di alam semesta seluruhnya adalah makhluk-Nya,
hanya saja sebagian dari makhluk tersebut dengan perantara dan sebagiannya
tanpa perantara.
Hal ini adalah sesuatu yang telah ditetapkan melalui
dalil-dalil dan argumen-argumen rasional (aqli) dan referensial (naqli). Di
antara dalil dan argumen tersebut adalah sebagai berikut:
"Katakanlah, “Siapakah Tuhan langit dan bumi?”
Jawablah, “Allah.” (Qs. Al-Ra'ad [13]:16)
"Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia-lah
pemelihara segala sesuatu." (Qs. Al-Zumar [39]:62)
"(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah
Allah Tuhan kamu; tidak ada tuhan selain Dia; pencipta segala sesuatu, maka
sembahlah Dia; dan Dia adalah pemelihara dan pelindung segala sesuatu."
(Qs. Al-An'am [6]:63)
Dalam masalah ini juga (tauhid dalam penciptaan) terdapat
perbedaan pendapat di antara mazhab teologis (Imamiyah, Muktazilah, Asy'ariah).
Terkait dengan hal ini, Asy'airah berbeda pendapat dengan mazhab Imamiyah dan
Muktazilah.
Pandangan Asy'ariah dalam masalah tauhid dalam penciptaan:
Pada tauhid dalam penciptaan, Asy'airah meyakini bahwa
penciptaan hanya terbatas pada Allah Swt; artinya dalam terealisirnya sesuatu,
tiada satu pun yang berperan dan berpengaruh selain Tuhan. Selain Allah Swt,
tidak berpengaruh pada penciptaan seluruh entitas dan juga bukan pencipta
mereka. Tidak secara mandiri juga bukan sebagai penyiap (muid). Dengan
keyakinan ini, Asya'irah mengingkari kausalitas, sebab dan akibat di antara
seluruh entitas dan makhluk. Mereka
menyangka bahwa pengaruh dan alam semesta secara lahir bersumber dari Allah
Swt, tanpa adanya hubungan antara benda-benda material dan
pengaruh-pengaruhnya. Dalam pandangan Asya'irah, api itu panas karena merupakan
sunnah Ilahi yang mengadakan panas melalui wujud api. Tanpa memandang adanya
hubungan antara api dan panas. Demikian juga terkait dengan hubungan antara
matahari dan cahaya. Mereka meyakini bahwa sunnah Ilahi berkuasa atasnya,
dengan adanya matahari dan bulan maka cahaya dan terang muncul. Tanpa memandang
adanya sistem dan hukum yang berkuasa (di alam semesta) yang bernama hukum
kausalitas.[10]
Sebagai tandingan pandangan Asy'ariah, Imamiyah dan
Muktazilah menjelaskan masalah tauhid dalam penciptaan dengan cara yang lain.
Keduanya meyakini, bahwa pembatasan penciptaan pada Allah Swt memiliki makna
lain yang menafikan segala sesuatu selain Tuhan. Makna tersebut adalah makna
yang sesuai dengan kedudukan Allah
Swt. Hal ini di samping ditegaskan oleh
akal dan sesuai dengan ayat-ayat al-Qur'an, juga dikuatkan oleh
pembahasan-pembahasan ilmiah dalam dialog keseharian manusia. Hal itu adalah:
"Penciptaan mandiri bersumber dari Dzat Allah Swt dan tidak bersandar pada
apa pun. Penciptaan ini terbatas hanya pada Tuhan dan pada tahap ini tiada satu
pun yang berserikat dengan Tuhan. Akan tetapi selain Allah Swt, bekerja dan
berbuat sesuai dengan izin, titah-Nya dan berlaku sebagai tentara-tentara Allah
dan menjalankan perintah Allah Swt. Perbuatan selain Tuhan terjadi berdasarkan
hubungan sebab dan akibat, illah dan ma'lul seperti api dan panas.[11]
4. Tauhid dalam
Pengaturan Semesta (rubūbiyah)
Tauhid dalam pengaturan semesta bermakna bahwa pengaturan
seluruh urusan semesta hanya terbatas pada Allah Swt dan pengaturan (rubūbiyah)
Allah bermakna pengaturan-Nya terhadap alam semesta bukan bermakna penciptaan
(khāliqiyyah). Tauhid rubūbiyah adalah keyakinan bahwa baik dan buruk,
pengaturan kehidupan seluruhnya berasal dari Allah Swt. Meski di alam semesta
ini terdapat sebab-akibat sebagai pengaturan yang lain, akan tetapi semua ini
merupakan tentara-tentara dan pesuruh-pesuruh Allah yang berkerja sesuai dengan
kehendak dan keinginan-Nya.
Lawan dari tauhid rubūbiyah ini adalah syirik rubūbiyah
(menyekutukan Allah Swt dalam masalah pengaturan semesta). Syirik dalam masalah
pengaturan bermakna bahwa manusia membayangkan bahwa di alam semesta terdapat
makhluk-makhluk yang meski merupakan makhluk Allah Swt, akan tetapi Allah Swt
menyerahkan (seluruh) pengaturan urusan dan alur kehidupan manusia baik secara
takwini (penciptaan) dan secara tasyri'i (hukum) kepada mereka dan setelah
penciptaan Allah Swt menarik diri dan urusan alam semesta didelegasikan
kepadanya.[12]
5. Tauhid dalam
Keberkuasaan (hākimiyyah)
Hal ini bermakna pembatasan kekuasaan pada Allah Swt. Tauhid dalam keberkuasaan
bersumber dari tauhid rubūbiyah. Artinya Rabb (Allah Swt) adalah pemilik dan
penguasa marbub (orang-orang yang dipelihara, makhluk). Dengan kata lain, Rabb
adalah Pencipta dan Pengada seluruh makhluk dan entitas dari ketiadaan. Dia
memiliki hak untuk menggunakan dan menguasai seluruh jiwa dan harta mereka. Dan
juga hak untuk mengadakan pembatasan (bagi mereka) dalam menggunakan segala
kekuasaan-Nya. Dan telah dibuktikan (pada pembahasan terpisah) bahwa
menggunakan harta dan jiwa membutuhkan wilayah (otoritas) atas yang dikuasai
dan apabila wilayah ini tidak ada maka penggunaan tersebut adalah penggunaan
ilegal.
Mengingat seluruh makhluk dan entitas adalah sederajat di
hadapan Allah Swt, seluruhnya adalah makhluk dan membutuhkan, mereka pula
bukanlah pemilik bahkan atas wujud, perbuatan dan pikirannya sendiri. Oleh
karena itu, tiada seorang pun yang memiliki otoritas (wilayah) secara esensial
dan hakiki atas orang lain. Sejatinya, otoritas (wilayah) hanya untuk Allah Swt
yang merupakan Penguasa hakiki manusia dan alam semesta yang telah
menganugerahkan wujud dan hidup kepadanya. Hal ini dapat dijumpai dalam
al-Qur'an sebagaimana Allah Swt sendiri berfirman: "Di sana itu, wilayah (otoritas
dan kekuasaan) hanyalah kepunyaan Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik
pemilik pahala dan akibat (untuk orang-orang yang menaati-Nya)." (Qs.
Al-Kahf [18]:44) Karena itu, keberkuasaan hanya terkhusus dan terbatas hanya
untuk Allah Swt dan merupakan salah satu tingkatan tauhid. Jenis tauhid ini
dapat dijumpai pada banyak ayat secara lahir yang menunjukkan pada tauhid dalam
keberkuasaan: "Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan
yang hak (dari yang batil) dan Dia-lah sebaik-baik pemisah (antara yang hak dan
yang batil).” (Qs. Al-An'am [6]:57); "Kemudian mereka (para hamba)
dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa
segala hukum (pada hari itu) adalah kepunyaan-Nya." (Qs. Al-An'am
[6]:62)[13]
6. Tauhid dalam
Penetapan Hukum (tasyri')
Tauhid dalam penetapan hukum (syariat) bermakna bahwa hak
untuk menetapkan hukum dan syariat itu hanya berada di tangan Allah Swt. Dan
tiada seorang pun yang dapat menetapkan hukum tanpa merujuk pada al-Qur'an dan
Sunnah.
7. Tauhid dalam
Ketaatan (ithā'a)
Tauhid dalam ketaaatan bermakna bahwa hak ketaatan dan
penghambaan hanya berada di tangan Tuhan. Artinya hak ketaatan berasal dari
tingkatan tauhid rubūbiyah. Allah Swt karena merupakan Pemilik manusia,
Pengatur alam semesta dan Penata jalan dan alur kehidupannya, maka hak baginya
untuk ditaati dan disembah, sebagaimana hak keberkuasaan ada pada-Nya.
Oleh sebab itu, di alam semesta tiada Mutha' (yang ditaati)
secara esensial selain Allah Swt atau orang yang diwajibkan oleh Allah untuk
ditaati (seperti para nabi dan imam).
Dengan kata lain, lantaran hanya Allah Swt yang merupakan
Pemilik wujud manusia dan Tuhan bagi manusia, karena itu ketaatan dan
penghambaan hanya terkhusus untuk-Nya. Yang dimaksud dengan ketaatan adalah
bahwa manusia dengan wujudnya dan segala nikmat yang didapatkan dari Allah Swt
harus digunakan untuk meraih keridhaan Allah Swt. Dan membangkang dari ketaatan
ini adalah tanda permusuhan dan aniaya terhadap Tuhan dimana akal menghukumi
hal tersebut sebagai perbuatan tercela.[14]
8. Tauhid dalam
Ibadah
Tauhid dalam ibadah bermakna bahwa tiada satu pun yang patut
disembah selain Allah Swt. Hal ini merupakan salah satu masalah yang disepakati
secara umum oleh kaum Muslimin. Allah Swt berkenaan dengan hal ini berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu.” (Qs. Al-Nahl
[16]:36)[]
Berikutnya. ayat ayat terkait toleransi antar umat beragama. klik disini...
Demikian.
Semoga bermanfaat
Kembali ke Kisi-kisi
Ayat Ayat Tentang Tauhid - Berbagi Pengetahuan >>>>> Download Now
BalasHapus>>>>> Download Full
Ayat Ayat Tentang Tauhid - Berbagi Pengetahuan >>>>> Download LINK
>>>>> Download Now
Ayat Ayat Tentang Tauhid - Berbagi Pengetahuan >>>>> Download Full
>>>>> Download LINK